Minggu, 27 Maret 2011

Teori Organisasi Neo Klasik

TEORI ORGANISASI NEO KLASIK
TEORI ORGANISASI NEO KLASIK
Teori Organisasi Neo-Klasik memperbaiki beberapa kekurangan yang terjadi pada teori
organisasi klasik, diklaim oleh penganut teori ini sebagai pengenalan studi perilaku yang
diintegrasikan ke dalam teori organisasi. Penganut teori neo-klasik secara umum
mengidentifikasikan pergerakan hubungan manusia. Studi perilaku yang paling
menginspirasi teori tersebut adalah studi Howthorne yang dilakukan oleh Elthon Mayo
(1880-1949). Analisis utama teori neo-klasik adalah berusaha memodifikasi pilar-pilar
dari dokrin klasik dan tentang organisasi informal. Para teoritikus neo-klasik beroperasi
di bawah asumsi tertutup namun menekankan hubungan informal dan motivasi-motivasi
non ekonomis yang beroperasi di dalam organisasi. Organisasi tidak bekerja dengan
mulus dan bukan merupakan mesin yang bekerja secara sempurna. Manajemen dapat
merancang hubungan dan peraturan yang formal dan sebagainya, namun diciptakan juga
pola hubungan status, norma, dan hubungan informal yang diciptakan untuk memenuhi
kebutuhan sosial para anggota organisasi. Scott (1993, hlm.142) menguraikan modifikasi
teori organisasi neo-klasik terhadap pilar-pilar dalam dokrin teori organisasi klasik
sebagai berikut:
1. Pembagian pekerjaan (division of labor) dipahami sebagai subyek dari hubungan
manusia, bukan didasarkan isolasi terhadap para pekerja akan tetapi ia lebih
merupakan spesialisasi pekerjaan.
2. Proses skalar dan fungsional dipahami oleh teori organisasi neo-klasik sebagai
derajat intensitas pendelegasian, otoritas pendelegasian otoritas dan tanggung
jawab.
3. Struktur dipahami oleh teori organisasi neo-klasik sebagai tempat mengeliminir
friksi dan konflik fungsi-fungsi yang berbeda atau harmonisasi bagi bagian staf
dan lini dalam mencapai tujuan organisasi melalui partisipasi, junior boards,
manajemen yang bottom-up, pengakuan akan kebebasan seseorang, dan
komunikasi yang lebih baik.
4. Rentang kendali (span of control) menurut teori ini haruslah memperhatikan
keperbedaan individual termasuk didalamnya kemampuan manajerial, tipe-tipe
manusia dan fungsi supervisi, dan penciptaan komunikasi yang efektif.
Kontribusi yang lain atau berikutnya yang juga masih bersifat revisi terhadap teori klasik
dari teori ini adalah analisis tentang organisasi informal. Organisasi informal muncul dari
respons terhadap kebutuhan sosial sebagai kebutuhan untuk berhubungan dengan orang
lain. Determinan penting yang memunculkan organisasi informal menurut Scott (1993)
adalah lokasi, pekerjaan, kepentingan, dan isu-isu khusus (special issues). Scott (1993,
hlm. 143) kemudian melihat beberapa asumsi karakteristik organisasi informal yang
69
penting dan apabila dipahami maka ia akan bermanfaat bagi penerapan manajemen antara
lain:
1. Organisasi informal merupakan agen kontrol sosial, dan pada organisasi formal
biasanya aturan-aturan mengenai kontrol sosial tersebut tidak lengkap atau tidak
diatur.
2. Bentuk-bentuk keterhubungan antar manusia pada organisasi informal
memerlukan analisis yang berbeda dari hubungan manusia yang diplot atau
dirancang pada organisasi formal. Metodenya biasa disebut sebagai analisa
sosiometrik.
3. Organisasi informal memiliki sistem status dan komunikasi yang khusus, dan
tidak selalu berasal dari sistem formal.
4. Keberlangsungan hidup organisasi informal membutuhkan stabilitas hubungan
diantara orang-orang yang berada didalamnya, dengan demikian organisasi
informal selalu sulit untuk berubah (resists to change).
5. Kepemimpinan pada organisasi informal merupakan salah satu aspek penting bagi
organisasi informal yang selalu menjadi determinan penting pula dalam
pembahasan teori organisasi neo-klasik. Diskusi terhadap aspek kepemimpinan
pada organisasi informal dipumpun pada bagaimana berlangsungnya
kepemimpinan informal, keistimewaan apa yang melekat padanya, dan bagaimana
pemimpin informal tersebut dapat menolong para manajer mencapai tujuan-tujuan
dalam organisasi formal.
Tokoh Teori Organisasi Neo Klasik dalam pemahaman yang umum menyatakan tokoh
teori neo klasik merevisi atau mengoreksi teori organisasi klasik yang kurang
memberikan perhatian kepada kebutuhan anggota organisasi dan interaksi yang terjadi
antar anggota organisasi. Tokoh-tokoh tersebut antara lain:
Chester I. Barnard (1886-1961)
Chester I. Barnard dilahirkan di Malden, Massachusets, tahun 1886. Ia dilahirkan dalam
keluarga yang tidak mampu tetapi karena ketekunannya, ia memperoleh bantuan
beasiswa untuk melanjutkan studi bisnis di Harvard, yang kemudian mempertemukannya
dengan ahli manajemen Harvard lainnya seperti Elton Mayo, dan F. J. Roethlisberger.
Barnard memulai karier kerjanya sebagai seorang juru tulis (clerk), kemudian kariernya
meroket menjadi presiden direktur pada New Jersey Bell Company, anak perusahaan
AT&T) pada tahun 1927. Barnard juga menjadi penasehat pemerintahan USA pada tahun
1930 karena ide-idenya yang cemerlang. Selanjutnya pada tahun 1942, Barnard diangkat
sebagai presiden United Service Organization, hingga akhir Perang Dunia II. Puncak dan
akhir karier kerjanya, Barnard menjabat sebagai presiden Rockeffeller Foundation, pada
tahun 1948 hingga tahun 1952.
Barnard sebenarnya bukanlah seorang peneliti, karya-karyanya lebih cenderung sebagai
refleksi pekerjaannya sebagai pandangan pribadi dan konsernnya terhadap pekerjaan
tersebut. Barnard dijuluki sebagai ‘godfather’ bisnis kontemporer, ‘suhu’ bagi yang
membutuhkan nasehat penanaman budaya organisasi yang kuat dalam organisasi.
Karya Barnard yang berpengaruh adalah The Function of the Executive (1938), bukunya
ditulis dalam konteks sosial masyarakat yang sedang dilanda depresi dalam perang dunia.
Tingkat keresahan masyarakat pada masa tahun 1930-an sangat tinggi sehingga legitimasi
bagi pembentukan sebuah organisasi menjadi dipertanyakan. Kecenderungan yang
menonjol pada waktu itu adalah lahirnya idiologi-idiologi radikal yang disertai tindak
kekerasan tanpa pertimbangan nalar. Barnard memunculkan ide-ide kooperatif yang ideal
dalam karyanya guna merespons situasi yang penuh bahaya tersebut. Model authoritarian
menurutnya tidak tepat pada konteks waktu itu.
Chester Bernard dan Sistem Kerjasama
Mempersatukan pandangan Taylor, Fayol, dan Weber serta dengan hasil kajian
Hawthorne menurut Barnard akan membawa kita kepada kesimpulan bahwa organisasi
merupakan sistem kerjasama. Organisasi terdiri dari tugas-tugas dan manusia yang harus
dipertahankan pada suatu tingkat keseimbangan. Perhatian yang hanya ditujukan kepada
pekerjaan atau kepada kebutuhan orang yang melaksanakan tugas tersebut akan
mengurangi optimalisasi sistem tersebut. Jadi para manajer harus mengorganisasikan di
sekitar persyaratan tugas yang harus dilaksanakan dan kebutuhan dari orang yang akan
melaksanakannya.
Gagasan bahwa sebuah organisasi adalah sebuah sistem kerjasama pada umumnya
dikatakan berasal dari Chester Barnard. Ia menawarkan ide-idenya di dalam The
Functions of The Executive, dimana ia menggunakan pengalamannya selama bertahuntahun
di American Telephone and Telegraph, termasuk kedudukannya sebagai presiden
New Jersey Bell.
Selain sebagai salah satu orang pertama yang memperlakukan organisasi sebagai suatu
sistem, Barnard juga menawarkan pandangan penting lainnya. Ia menantang pandangan
klasik yang mengatakan bahwa wewenang harus didefinisikan sesuai dengan tanggapan
dari bawahan, memperkenalkan peran dari organisasi informal ke dalam teori organisasi,
mengusulkan agar peran utama manajer adalah memperlancar komunikasi dan
mendorong para bawahan berusaha lebih keras. Barnard mencatat bahwa pada setiap
kelompok dalam suatu organisasi yang kompleks terdapat suatu posisi yang juga
termasuk dalam kelompok lain, dalam bentuk kehadiran beberapa orang wakil dari
kelompok lain tersebut.
Dengan demikian dapat ditarik kesimpulan bahwa setiap kelompok yang lebih inklusif
(terbuka) ditentukan oleh kebutuhan koordinasi, berdasarkan tempat dari
kesalingtergantungan atau kemungkinan. Boulding (1964) dalam Thompson (1967)
menjelaskan pendapat Barnard dengan mengusulkan dalil bahwa bentuk hirarkis
organisasi dapat secara luas diinterpretasikan sebagai suatu alat untuk menyelesaikan
konflik pada setiap tingkatan hirarki, yang mengkhususkan diri dalam menyelesaikan
konflik dari tingkatan yang lebih rendah.
Perspektif sistem kerjasama dalam karyanya, menjadi pijakan bagi organisasi yang
dibangun dan memotivasi para manajer dalam organisasi dalam berusaha agar tidak gagal
dalam sistem kerjasama. Tujuan umum organisasi menurut Barnard adalah sebagai
sebuah tujuan moral. Untuk menanamkan tujuan moral tersebut terhadap anggota
organisasi, eksekutif harus memahaminya sebagai sebuah tugas yang mulia dan
bermakna.
Pada konteks intelektual, karyanya menjelaskan kegagalan akademis terhadap penjelasan
teori organisasi. Barnard berusaha menunjukkan pandangan yang lebih masuk akal, yang
ditujukan bagi manajer masa datang agar lebih memahami organisasi sebagai sistem
kerjasama (cooperative) organis, yang menyesuaikan diri atau mengakomodir
kepentingan pemodal, manajer dan pekerja. Menurut Barnard organisasi bukan hanya
merupakan produk lingkungannya, tetapi juga tidak bebas. Konfigurasi atau formasi yang
diperlukan agar bisa hidup terus diperoleh bukan dengan jalan menyerah pada satu atau
semua tekanan, juga bukan dengan memanipulasi semua variabelnya, melainkan dengan
jalan menemukan apa yang disebutnya sebagai variabel strategis, yaitu variabel yang
tersedia bagi organisasi dan bisa dimanipulasi sedemikian rupa sehingga terjadi interaksi
dengan unsur lain yang mana akan menghasilkan penyelarasan yang menguntungkan.
Karyanya sangat berpengaruh terhadap paling sedikit tiga masab atau paradigma teori
organisasi, bahkan sampai tiga dekade kemudian. Seperti pemikiran teori institusional,
pengambilan keputusan, dan hubungan manusia.
Philip Selznick (1919-)
Philip Selznick lahir di Newark, New Jersey, tahun 1919, ia memperoleh gelar Ph.D dari
Universitas Columbia, dan mulai bekerja di Pusat Studi untuk Undang-Undang dan
Masyarakat, Barkeley University, dari tahun 1952 sampai tahun 1972. Karya Selznick
sangat berpengaruh terhadap teori organisasi institusional baik yang baru maupun lama,
old and new institutionalsm. Ia adalah penemu teori institusional
Selznick mengemukakan bahwa segala sesuatu yang penting mengenai organisasi
adalah perbincangan tentang perangkat-perangkat (tolls) organisasi terhadap bagian
yang menghidupkan dirinya. Berdasarkan pemikirannya, ia merumuskan gagasan rasional
selanjutnya dalam mendesain organisasi untuk mencapai tujuan yang ternyata
menunjukkan bahwa stuktur formal tidak bisa membebaskan diri dari dimensi indvidu.
Selznick menyatakan bahwa individu-individu menciptakan komitmen lainnya terhadap
organisasi agar dapat tercapai pengambilan keputusan rasional. Organisasi melakukan
tawar-menawar dengan lingkungan dalam hal mencapai tujuan penting atau
kemungkinan-kemungkinan masa mendatang. Akhirnya adaptasi struktur organisasi di
dasari oleh tindakan individu dan tekanan lingkungan.
Pernyataannya menolak pandangan kebutuhan sistem sebagai tempat pemeliharaan
integritas dan keberlangsungan sistem akan terjadi hanya dalam diri sistem itu sendiri.
Ia mendetifinisikannya sebagai ‘derived imperative’, antara lain adalah;
1. Keamanan organisasi dalam lingkungan.
2. Stabilitas hubungan informal dalam organisasi.
3. Kesamaan pandangan tentang makna dan aturan organisasi.
Selznick mengarahkan studi organisasi pada masa mendatang lebih berfokus pada
keputusan penting yang menyebabkan terjadi perubahan struktur. Ia menemukan bahwa
ternyata institusionalisasi adalah proses dimana organisasi mengembangkan karakter
struktur secara khusus.
Kontribusinya bagi teori institusional terjadi melalui kesimpulan penilitiannya yang
menyatakan bahwa organisasi melakukan proses adopsi dan kooptasi terhadap organisasi
lainnya atau lingkungan institusionalnya. Penilitian Selznick difokuskan pada dua hal;
pertama, adalah terhadap Lembaga Otorita Lembah Tennesse, bagaimana lembaga
tersebut merespons tantangan eksternal. Kesimpulannya menunjukkan bahwa ternyata
lembaga tersebut menciptakan proses kooptasi terhadap organisasi lain dalam merespons
hal ini. Kedua, adalah terhadap pengorganisasian Leninist di Soviet, tentang bagaimana
perlakuan Lenin terhadap sukarelawan dan agen-agen. Lenin menjalankan tugasnya
dengan sangat disiplin. Temuan Selznick menunjukkan bahwa para agen bekerja dengan
disiplin karena adanya proses pendelegasian wewenang yang mengindikasikan adanya
proses adopsi dari organisasi lainnya.
Dari kedua hasil penilitiannya, Selznick menyimpulkan bahwa organisasi selalu
melakukan proses adopsi terhadap bentuk organisasi lainnya. Temuan Selznick dimuat
dalam karyanya dengan judul Istitutionalism ‘Old and New’, dan The Foundation of the
Theory of Organization, yang diterbitkan pada tahun 1948. Dalam buku ini Selznick
menyatakan bahwa konsekwensi dari dibangunnya sebuah organisasi adalah bagaimana
organisasi membentuk aturan dan mejalankannya dalam struktur secara fungsional.
Analisis Selznick terhadap struktur fungsional adalah bagaimana struktur secara
fungsional dapat menjawab kebutuhan dasar (basic need) dan bagaimana keseluruhan
sistem dapat bertahan, serta struktur secara signifikan merupakan pernyataan anggotanya.
Mereka bertindak sesuai pernyataan struktur organisasi.
Pandangan Selznick terhadap proses kooptasi atau penyertaan dipahami olehnya sebagai
proses penyesuaian sebuah organisasi, baik secara formal maupun informal. Secara
formal, pembagian tanggung jawab organisasi dimaksudkan untuk memperoleh
legitimasi. Sementara secara informal kooptasi merupakan proses penyesuaian yang
memungkinkan pusat kekuasaan menjadi spesifik dan jelas berada dimana.
Elthon B. Mayo (1880-1949)
Elthon Mayo dilahirkan di Australia pada tahun 1880, ia mengajar di Quensland
University. Kemudian Mayo megikuti studi lanjut di Edinburg University, Scotlandia,
dalam bidang pengobatan. Setelah selesai mengikuti studi lanjut, ia bergabung dengan
Asosiasi Penilitian Psycopathologi, Warton University. Kemudian pada tahun 1926, ia
bergabung ke Harvard University, dan mengajar pada Industrial Reseach Faculty.
Karya Elton B. Mayo yang terkenal adalah temuan dalam Hawtorne Studies. Sebuah
temuan yang sederhana tetapi berimplikasi besar. Studi tersebut dilakukan tahun 1924
sampai tahun 1932, tentang efek penerangan pengaruhnya terhadap keluaran (out-put),
penilitian dilakukan terhadap para karyawan perakitan (assembly).
Implikasi dari temuan ini memberikan pemahaman tentang organisasi sebagai suatu
kesatuan sistem. Mayo berkesimpulan bahwa masalah motivasi dan respons emosi yang
diakibatkan oleh situasi kerja lebih penting dari pengaturan logis dan rasional dalam
menentukan keluaran. Pemahaman yang terkenal dengan ‘efek Hawthorne’ ini
mengemukakan bahwa perlakuan khusus, bahkan yang buruk pun, dapat membawa
dampak positif terhadap para pekerja, karena faktor manusia yang mempengaruhinya. Ia
menegaskan bahwa hubungan sosial dalam kelompok kerja adalah faktor terpenting yang
mempengaruhi kepuasan para pekerja atas pekerjaannya. Pernyataan Mayo dalam Wren
(1994) tentang hal ini dinyatakan sebagai berukut;
The most significant change that the Western Electric Commpany introduced into its ‘that
room’ bore only a causal relation to the experimental changes. What the company
actually did for the group was to the reconstruct enterely its whole industrial (hlm.169).
Menurut Mayo perlakuan yang manusiawi dan menunjukkan penghargaan memberi
manfaat bagi perusahaan dalam jangka panjang. Dalam sebuah percobaan lain di sebuah
pabrik tekstil, Mayo dan timnya menguji efekifitas beberapa sistem insentif. Semua
faktor bahkan uang, gagal menghasilkan dampak yang diharapkan. Barulah setelah para
pekerja dilibatkan dalam pengambilan keputusan, dampak positif dirasakan. Ternyata
keterlibatan pribadi dalam mencapai sasaran kerjalah yang mendorong peningkatan
produksi, meskipun mesin-mesin tidak mungkin bekerja lebih cepat lagi.
Dalam hampir semua tulisannya Mayo selalu membahas dua gagasan pokok, pertama
adalah tentang masyarakat, dan kedua menyangkut masalah individu dalam masyarakat.
Argumentasi Mayo didasarkan atas pemahamannya tentang revolusi industri yang telah
menghancurkan masyarakat tradisional yang memungkinkan manusia saling
berhubungan dalam kehidupan rutin dan akrab. Tradisi lama tersebut tak mungkin
dibangkitkan kembali. Karena itu solusinya adalah dengan membangun masyarakat yang
adaptif, yang mudah menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan, serta dipimpin oleh
orang-orang yang terlatih dalam ketrampilan dan pemahaman sosial, dan mampu
mengatasi masalah manusia maupun masalah tehnis.
Marry Parker Follet (1868-1933)
Marry Parker Follet lahir tahun 1868 di Massachusetts (sumber lain menyebutkan
Boston), ia dibesarkan dalam tradisi Quaker, yang terkenal karena didikan kedisiplinan
dalam tradisi tersebut. Marry muda adalah pribadi yang mengasumsikan diri sebagai
orang yang bertanggung jawab ketika bapaknya meninggal dan ibunya sakit-sakitan. Ia
harus berhenti untuk sementara waktu dalam masa-masa studinya karena kejadian yang
menimpa keluarganya.
Pendidikan awalnya dilalui di Thayer Academy dan dilanjutkan di Annexete Harvard
(sekarang berubah nama menjadi Radcliffe Collage), ia menyelesaikan studi dengan nilai
yang memuaskan dalam bidang ekonomi, pemerintahan, hukum dan filsafat. Follet
melanjutkan studi di Cambridge University, Inggris. Sebelum ia menyelesaikan studinya
di Cambridge, ia harus pulang karena ibunya sakit. Kemudian ia melanjutkannya dengan
capaian yang memuaskan dengan nilai A.B summa cum laude, pada tahun 1898.
Buku pertamanya diterbitkan semasa ia masih berstudi di College, dengan judul The
Speaker of the House of Representatives, tahun 1896. Buku ini meneliti tentang metode
yang efektif bagi anggota kongres. Theodore Roosevelt, presiden Amerika Serikat pada
waktu itu mendeklarasikan karya Follet muda sebagai buku yang harus dibaca.
Follet dalam karya-karya selanjutnya sangat dipengaruhi oleh John Fichte, seorang filsuf
pujaannya. Lebih tepat disebut sebagai pandangan filosofi politik, yang kemudian
berkembang menjadi filosofi organisasi Follet. John Fichte (1762-1814), adalah seorang
filsuf berkebangsaan Jerman yang mendukung nasionalisme yang membebaskan individu
dari sub-ordinasi kelompok. Fichte tidak sependapat dengan pemahaman individualisme
berada diatas segala-galanya, tetapi pengakuan individualitas seseorang terjadi ketika
terciptanya hubungan interpersonal dimana orang mengembangkan komitmen di dalam
kelompok. Selanjutnya ego individual dalam kelompok terbentuk menjadi ego yang lebih
luas, membentuk ego sosial atau ‘great ego’, yang merupakan bagian dari pandangan
hidup seluruh individu. Pandangan Fichte sangat mempengaruhi pandangan filosofi
Follet, yang kemudian dikembangkan lebih lanjut dalam rumusan filosofis bisnis.
Bagi Follet, demokrasi dibangun atas keyakinan sosial, bukan oleh faham individualisme.
Dengan demikian, menurut Follet teori politik misalnya harus berbasis pada hak-hak
individual. Hal ini tidak bisa ditawar-tawar dan harus mendapat tempat dalam teori
politik modern.
Sumbangan pemikiran Follet lewat filosofi bisnisnya menyatakan bahwa tindakan yang
didasarkan oleh akal sehat (commonsense) yang cerdas dari eksekutif bisnis
memberitahukan kepada mereka bahwa mencapai keteraturan secara membabi-buta
bukanlah bisnis yang baik. Pengatur dan yang diatur dapat menjadi sebuah kesatuan yang
integratif melalui perilaku yang memiliki ujung pangkal (circular) karena kemungkinan
munculnya persoalan industrial disebabkan oleh tata krama yang tidak benar. Follet
mengusulkan adanya depersonalisasi kembali keadaan manusia dan menciptakan aturan
untuk mempersatukan semua hal yang menyangkut studi terhadap situasi tersebut, dalam
rangka menemukan aturan dari situasi tersebut dan menaatinya. Follet menyatakannya
sebagai berikut; …depersonalization of an authorithy and obiedience to the law of situation would
certainly sound the death knell for tyranny and authocrazy…(dalam Wren, 1994, hlm.260).
Subyek dari aturan yang mengarahkan kita dalam pertanyaan menyeluruh adalah otoritas
dan kesepakatan bersama sehingga orang tidak bekerja dibawah tekanan. Keteraturan
sebagai bagian yang berkembang dari sikap yang bertanggung jawab, mengenal semua
keadaan, sikap yang sadar mencatat bahwa situasi dibangun oleh kita. Rumusan filosofi
bisnis tersebut dapat dilihat pada kata Follet sendiri yang menyatakan bahwa pelayanan
bukan merupakan substitusi terhadap motif mencari profit tetapi merupakan bagian yang
terintegrasi dalam motif yang lebih luas yaitu profesionalisme. Follet dalam Wren (1994)
menyatakannya sebagai berikut;
…Work for profit, for our own development, for the love of creathing something. At any
moment inded, most of us are not working directly or immediatly for any thyngs, but to
put through the job in hand in the best possible manner …to come back to the
proffesions: can we not learn a lesson from them on this verry point? The proffesions
have not given up the money motive. I do not care have you see it stated that they
have…Proffesional men are eager enough for large income; but they other motives as
well, and they are often willing to sacrifice a good slice of income for the sake of this
other things…we all want the riches of life in the terms of deepest desire. We can purify
and elevate our desires, we can add to them, but there is no individual or social progress
in curtailment of desires (hlm.264).
Begitu besar pujian dan hormat dialamatkan kepadanya karena pemikirannya yang
brilian. Warren Bennis menyatakan sebagai berikut,…just about everything writen today
abaut leadership and organization comes from Mary Parker Follet writings and lectures.
Peter Drucker menyatakan, …Follet had been the brightest star in the management
firmanent and to change the metaphor She had struck every chord in what now
constitutes the management simphony. Harry Mintzberg menyatakan pujiannya sebagai
berikut, …how relevant Mary Parker Follet writings are todays problems?, realy to every
days problems. Sedangkan Lindhal W. Urwick membuat sebuah makalah dengan judul,
The Great Names in Management: Mary Parker Follet, 1868-1933.
Herbert A. Simon.
Herbert A. Simon adalah ilmuan politik dan sosial berkebangsaan Amerika. Ia memulai
kariernya dalam bidang administrasi publik dan riset operasi. Simon memperoleh hadiah
nobel tahun 1978. Simon adalah seorang profesor dalam bidang sains komputer dan
psikologi di Carnagie-Mellon University, Pitsburg, ia melakukan riset terhadap proses
pengambilan keputusan.
Herbert Simon dan Serangan Terhadap Prinsip-Prinsip Klasik.
Gerakan kontingensi mencapai puncaknya pada taun 1960-an, tetapi Herbert Simon
sudah menyadari pada tahun 1940-an bahwa prinsip-prinsip paradigma teori klasik harus
mengalah terhadap pendekatan kontingensi atau situasional. Simon mencatat bahwa
kebanyakan dari prinsip klasik tidak lebih dari pada pepatah saja dan banyak di antaranya
saling bertentangan. Ia menyatakan bahwa teori organisasi perlu melebihi prinsip-prinsip
yang dangkal dan terlalu disederhanakan bagi suatu kajian mengenai kondisi yang di
bawahnya dapat diterapkan prinsip yang saling bersaing. Namun di tahun 1950 dan 1960-
an, cenderung masih didominasi oleh prinsip-prinsip yang simplisistik baik dalam
keragaman mekanistik maupun aspek humanistisnya. Diperlukan kurang lebih dua puluh
tahun bagi para teoritikus organisasi untuk memberikan tanggapan yang efektif terhadap
tantangan Simon.
Pandangan-pandangan Simon berdasarkan hasil risetnya terhadap proses pengambilan
keputusan ditemukan bahwa ada kesamaan pandangan antara proses pengambilan
keputusan dengan proses manajemen,’…management is equivalent to decision
making…’. Simon merumuskan tiga tahap dalam proses pengambilan keputusan sebagai
tahap aktivitas pemikiran (intelligence), aktivitas desain, dan aktivitas memilih. Dalam
proses pengambilan keputusan menurut Simon ada batasan atau konstrain yang
diidentifikasikan olehnya sebagai administrative man versus economic man. Ada
keputusan-keputusan yang sifatnya terprogram versus tak terprogram, dan ada jenjang
hirarki pada pencapaian tujuan-tujuan.
‘Proverbs of Administration’, yang diterbitkan pada tahun 1960, merupakan karya utama
Simon yang sangat berpengaruh terhadap pemahaman administrasi. Pandangannya
terhadap teori administrasi menyatakan bahwa setiap prinsip selalu eksis dan dapat
diterima, tetapi akan menimbulkan kontradiksi antara satu prinsip dengan yang lain.
Simon mencontohkan beberapa hal antara lain: spesialisasi, kesatuan komando, rentang
kendali, pengorganisasian lewat tujuan, proses, klien dan tempat. Pandangan Simon
sangat berpengaruh terhadap pendekatan-pendekatan yang dikembangkan dalam teori
administrasi, dalam bentuk aturan-aturan yang fleksibel dan diakui sebagai bagian yang
saling berhubungan terhadap sistem. Dari pandangan ini selanjutnya dilakukan
pendekatan yang lebih komprehensif pada teori administrasi baik gambaran situasi
administrasi, diagnosis dan penentuan kriteria utama yang menentukan pengembangan
teori administrasi. Pandangannya masih dikembangkan lebih lanjut dan menjadi acuan
bagi yang lain, sejak 1965 hingga kini.
Simon menjelaskan proses dalam organisasi terjadi lewat tujuan yang spesifik dan terjadi
secara formal. Dia mengkritik pandangan Fayol yang datar dan Taylor dengan asumsi
economic mannya. Ia mengajukan konsep asumsi administrative man, yaitu orang yang
mengejar kepentingan pribadi tetapi mereka tidak mengetahui apa yang mereka perbuat,
mereka menyadari hanya memiliki sedikit alternatif dalam membuat keputusan, dan
berharap akan mendapatkan penyelesaian yang optimal.
Simon membedakan antara keputusan-keputusan yang dibuat seseorang yang memasuki
atau keluar dari organisasi dan keputusan yang mereka buat sebagai partisipan organisasi,
dengan cara menyederhanakan keputusan dan dukungan partisipan dalam keputusan yang
diambil oleh partisipan. Partisipan dalam posisi yang tinggi memutuskan dengan
komponen bernilai tinggi, sementara orang berposisi rendah membuat keputusan dengan
komponen yang ada saja. Top manajemen membuat keputusan tentang ‘what’, sedangkan
bawahan membuat keputusan tentang ‘how’. Secara keseluruhan Simon menolong kita
memahami bagaimana ratusan atau ribuan tujuan individu disatukan dan organisasi dapat
mengendalikannya lewat tujuan organisasi.
Kontribusi Simon yang lain adalah dalam bidang tehnologi manajemen. Pemikirannya
didasarkan atas studi terhadap perusahaan di South Essex, yang melibatkan lebih dari 100
orang karyawan. Dalam analisis terhadap penilitian tersebut ditemukan tidak adanya pola
yang paling baik atau menentukan, apakah itu pola lini, staf, mekanistik atau organis,
dalam manajemen kecuali organisasi memisahkan fungsi tersebut kepada kelompok kecil
(batch), kelompok besar (large batch) atau masal, atau kelompok proses produksi.
Temuan Simon tentang impilikasi-implikasi kompleksitas tehnologi dalam batch kecil
adalah tentang adanya pengurangan biaya tenaga kerja ketika tehnologi makin baik,
kapasitas produksi dan rentang kendali yang semakin luas, proses produksi semakin
organis, intensitas komunikasi verbal yang semakin jelas, dan spesialisasi manajemen
yang berbasis pada metode know-how. Sementara temuan Simon tentang pengembangan
tehnologi manajemen pada batch besar atau masal, menunjukkan adanya hubungan
tentang hal yang menyenangkan antara keteraturan dalam manajemen dengan bisnis yang
sukses.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar